Airi menendang batu kecil seukuran kepalan bayi di depannya, dia mendengus sambil melipat tangan dengan mata tertuju pada sebuah rumah sederhana yang apik dan bersih. Ia mengenakan seragam putih abu-abu dengan rok diatas lutut. Di kedua pergelangan tangannya di penuhi gelang plastik hitam, dandannya agak emo gothic.
Airi : “Apa, sih salahku? Kenapa Ibu selalu saja menyalahkan aku dan membela kakak? Sungguh tidak adil!” (mengumpat sendiri di depan pagar)
Setelah menjulurkan lidah kearah rumah sederhana itu, Airi bergegas meninggalkan tempat itu.
Di dalam rumah.
Ayah : “Ibu juga, sih… terlalu tegas padanya…..” (berjalan menuju kursi meja makan, duduk dan meminun kopi hitam pekat)
Ibu : “Ayah… kalau Airi tidak ditegasi, mau jadi apa dia? Dandan tidak beres begitu ke sekolah. Mau jadi anak apa itu nanti? Preman? Anak imut gitu jadi preman… cewek lagi… apa kata orang, Yah…” (menyodorkan pisang goreng di depan ayah)
Ayah : (geleng-geleng kepala) “Wong, Ibu juga… nyumpahin anak sendiri seperti itu… hati-hati kalau ngomong, Bu… kata-kata seorang ibu itu doa pada anaknya….” (melirik sang ibu)
Ibu : “Astagfirullah!” (terkejut, meletakkan kedua telapak tangan di dada)
Ayah : (kembali menggelengkan kepala)
Disaat ruang makan mulai sunyi, derap langkah keluar dari kamar di sebelah ruang tamu bergerak menuju meja makan.
Wina : “Bu…” (membuka amplop putih)
Ibu : “Ya?” (menengadah melihat Wina yang berjalan kearahnya)
Wina : “Ini setengah gaji magang Wina buat Ibu… lumayan banyak… jadi, sisanya buat ibu saja.” (memandang khidmat sang ibu) “Buat dapur, Bu….” (tersenyum)
Ibu : “Aduh… Win… makasih banyak… tapi, ibu rasa ini uang yang pantas untuk kau simpan saja…. Uang pensiunan ayah juga masih ada, kok… tabung saja…” (memandang senduh Wina)
Ayah : “Iya, Win… gaji pensiunan ayah masih cukup untuk kita. Yah… walaupun tidak sekaya tetangga-tetangga kita, toch ayah masih mampu beli laptop untuk kuliahmu… tunai lagi. Ayah tidak bermaksud sombong, loh!” (tersenyum jenaka)
Wina terkekeh, duduk di kursi, meletakkan amplop putih berisi gaji magangnya selama 3 bulan di Bank Swasta. Tangan lentiknya meraih pisang goreng .
Wina : “Iya, Yah… tapi… apa salahnya jika Wina sesekali balas budi? Toh juga tak seberapa….”
Ibu : “Mbok, ya , kamu ini, ya!” (berdiri dan mengucek-ngucek rambut Wina, berjalan masuk ke dapur)
Wina : “Ibu…” (tertawa) “Memang Wina anak kecil?”
Ayah : “Iya, masih kecil! Badannya aja yang gede!” (meledek)
Wina pura-pura cemberut.
Ibu : “Ini nasi goreng kesukaanmun. Pulang kuliah nanti bantu ibu antar jahitan Bu Miranti, ya? Sekalian ibu titip salam.” (meletakkan sepiring nasi goreng di depan Wina)
Wina : “Nasi goreng Ibu memang yang paling lezat sedunia!”
Ayah : “Sudah. Cepat makan! Nanti kamu telat, loh!”
Wina mengangguk, lalu mulai memakan sendok pertamanya.
Wina : “Airi sudah berangkat duluan?”
Ibu : “Iya. Pake embel-embel ngambek lagi!” (duduk di kursi)
Wina : “Kenapa lagi, Bu?” (penasaran)
Ayah : “Biasa…. Taulah adikmu itu kalau di beritahu… bilangnya pasti pilih kasih…”
Ibu : “Anak itu memang bandel.” (geleng-geleng kepala)
Ayah : “Ibumu tadi ceramahin adikmu gara-gara pakiannya yang terlalu sexy…. Seragam sekolah kok sexy. Kata ibumu itu seperti cewek nakal. Trus, pulang sekolah masa pukul lima sore? Memang pelajaran sekolahnya berapa, sich? Kalo les, ya masa sampai harus tiap hari?” (meniru sebagian kata-kata istrinya)
Wina hanya mengkerutkan kening mendengarnya, lalu melempar pandang kearah sang ibu. Ibu hanya memalingkan wajah.
Ibu : “Toh ibu juga mau dia baik-baik sepertimu, Win. Ibu nggak salah, kan? Ibu itu mau adikmu seperti kamu…” (mengelus pipi Wina) “Pintar, cantik, berbakat, murah hati… apalagi coba? Pake jilbab, lagi!” (tersenyum bangga)
Wina : “Ibu… tapi itu tidak bisa dipaksakan, kan? Airi juga punya jalan hidupnya sendiri.”
Ibu : “Makanya dia butuh pembimbing!” (ngotot)
Ayah : “Tapi, jangan terlalu tegas begitu…. Masa anak sendiri dikatain bego mulu? Anak kurang ajarlah… apalah… airi juga punya perasaan, Bu…” (tersenyum miris pada istrinya)
Ibu : “Anak seperti memang punya hati? Ibu itu nggak pernah liat di berbuat baik sedikitpun. Mainnya saja sama anak tidak beres.”
Wina : “Ibu… dia anak ibu juga, kan?” (mengeluh)
Ibu : “ Iya. Tapi anak ibu yang paling baik itu Wina, kan?” (tersenyum)
Ayah : (berdiri dari kursi, tak tahan terhadap sikap sang istri)
***
Airi duduk termenung di bangku taman di saat jam istirahat sekolah, tak habis pikir ibunya selalu saja berpikiran negatif terhadap dirinya. Berdandan emo-gothic apa salahnya? Masa dia dinilai dari luarnya saja?
Airi : “Kasih sayang seorang ibu itu seperti apa, sih?” (bicara sendiri dengan nada berbisik).
Airi dan Wina adalah saudari kandung dengan sifat berbeda. Jika dimata ibunya Wina anak baik, maka Airi sebaliknya. Sang ibu lebih menyanyangi sang kakak dibanding sang adik karena sewaktu umur lima tahun, Wina hampir meninggal dunia akibat tenggelam di kolam ikan milik kakek mereka, hal itu terjadi karena kelalain sang ibu.
Semenjak saat itu, Wina menjadi anak kesayangan beliau. Airi mendengar cerita ini dari sang ayah. Sedangkan sang ayah selalu berlaku adil, itu membuat Airi lega. Airi paham perasaan sang ibu, tapi membedakannya seperti kutub positif dan negatif atau seperti pahlawan dan pejahat, apa itu adil? Hanya karena selera pakaian mereka berbeda dan aktivitas Airi yang sangat padat melebihi jadwal anak sma lainnya, lalu dicap buruk?
Airi selalu berusaha memberitahu kegiatan sekolah, tapi selalu ditanggapi dingin oleh sang ibu, hanya perkataan Ya? Dan oh! Saja yang terlontar dari mulut beliau. Itu membuat Airi malas untuk bercerita lagi.
Rina : (melihat Airi yang duduk termenung, berjalan menghampirinya) “Ai! Bantu aku, ya di ruang OSIS! Kamu, kan paling pintar dikelas! Apalagi kamu ketua OSIS tahun lalu! Anak kelas XI kesulitan mengurus arsip festival bulan depan. Mau, ya?”
Airi : “Baiklah. Tapi, aku tidak bisa lama-lama, loh! Aku ada urusan jam 2.30!”
Rina : “Iya. Cuma sejam kok sepulang sekolah nanti!”
***
Di rumah.
Airi : “Assalamu alaikum!” (mengetuk pintu)
Ibu : “Airi!” (membuka pintu sambil marah-marah) “”Kamu ini! Ini sudah pukul berapa?” (menunjuk jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam lewat) “Kamu ini bandel, ya!”
Airi : (menghela napas panjang, berjalan cuek melewati sang ibu)
Ibu : “Eh???? Anak ini! Dibilangin malah ngelunjak!” (menarik tangan Airi secara paksa)
Airi : “Ibu!” (tak sengaja berteriak)
Ibu : “Eh??? Mulai melawan lagi?” (teriak marah, melotot)
Ayah : “Ibu! Sudah!” (berjalan tergesa-gesa dan cepat-cepat menarik Airi dari jangkauan istrinya)
Ibu : “Lihat anak gadismu ini! Begini yang dibilang anak gadis? Keluar pagi, pulang malam! Apa kata orang, pak? Malu! Malu kita ini!” (menunjuk-nunjuk Airi)
Airi hanya diam tanpa kata-kata, airmatanya hampir saja keluar, jika saja ia bukan orang yang pandai menyembunyikan perasaannya, mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya sambil mengutarakan betapa tidak adilnya sang ibu. Bahwa sedari kecil Airi tak bisa merasakan kasih sayang ibu seperti anak perempuan pada umumnya, tapi…. Airi bukan anak seperti itu… dia lebih memilih memendam masalahnya sendiri, lagipula jika ingin curhat, siapa yang mau mendengarkan? Ibu? Yang benar saja!
Airi : “Tadi Airi les matematika, bu.” (suara datar)
Ibu : “Bohong! Mana ada les sampai jam segini?”
Airi : “Benar, Bu! Waktu pulang tadi macet. Ibu bisa telepon Pak Kendo.” (berusaha meyakinkan)
Ibu : “Ah! Ibu tak mau dengara alasan konyol seperti itu! kamu memang suka pulang malam, kan? Jalan dengan om-om mana kamu, hah?” (nada suara meninggi)
Airi : (syok. Hampir terjatuh)
Ayah : “Cukup! Ibu apa-apaan, sih bilangin anak seperti itu?” (marah)
Ibu : “Pikir, pak! Pikir! Lihat saja kelakuan anakmu itu! Dasar bego!” (melempar gelas plastik yang ada di atas meja lalu masuk dapur sambil tetap marah-marah)
Airi terdiam, masih syok, rasanya ingin menangis tapi ditahannya karena ada ayahnya saat ini.
Ayah : “Sudah. Lupakan saja omongan ibumu yang yak beres itu. kamu sudah makan?”
Airi : (mengangguk) “iya. Tadi sempat makan bakso dengan ketupat dua sebelu les dimulai. Ayah percaya, kan pada Ai?” (tersenyum hampa)
Ayah : “Iya. Percaya.” (mengelus rambut pendek Airi)
Airi : “Kalau ayah tidak percaya, aya bisa lihat tanda tangan Pak Kendo di tiap akhir pertemuan, kok” (membuka tas dengan tangan agak gemetar, air mata Airi tanpa disadarinya menetes)
Ayah : “Ayah percaya seratus persen pada Airi.” (menghalangi Airi membuka tas) “Ayah percaya kalau Airi tak seburuk yang ibu katakana. Airi anak baik, kok! Ayah percaya itu.” (tersenyum bijak)
Airi : (terpana lalu tersenyum manis) “Terima kasih, Yah…..”
Ayah : “Istirahat sana….”
Airi : “Iya…” (berjalan masuk kamar)
Setengah jam kemudian.
Wina : “Assalamu alaikum?” (mengetuk pintu)
Airi berdiri dari kursi belajarnya, hendak membukakan pintu, namun langkahnya berhenti ketika ia mengintip dari balik pintu kamarnya, sang ibu dengan wajah sumringah menyambut kedatangan kakak semata wayangnya itu. tanpa emosi, tanpa amarah, tanpa pandangan yang hendak menerkam atau perkataan hujatan seperti dirinya setengah jam lalu.
Ibu : Walaikum salam…. Capek, ya? Ibu sudah masak cumi kesukaanmu, loh!” (menarik tangan Wina dengan antusias)
Wina : “Wuah! Pasti enak!”
Ibu : “Tentu saja! Ibu yang masak! Bagaimana kuliahmu?”
Wina : “Baik, Bu. Tadi lumayan lucu dikampus.” (berjalan masuk menuju dapur)
Airi yang melihat hal itu berubah murung, namun ia tak mau protes. Buat apa protes kalau ujung-ujungnya akan dimarahi lagi? Lebih baik diam saja.
Wina : “Airi! Ayo makan!” (berteriak dari arah meja makan)
Airi : “Airi sudah makan, kok di sekolah tadi!” (berusaha menahan tangis)
Ibu : “Adikmu itu sudah kenyang. Kita makan saja. Ayahmu juga sudah makan tadi depan TV. Ayo, Makan! Ibu sudah lapar menunggumu!” (tersenyum ceriah sembari mengambilkan nasi untuk Wina)
Wina : “Aduh… Ibu.. Wina bisa sendiri, kok…” (terkekeh)
Ibu : (ikut terkekeh juga)
Malam itu Airi hanya duduk di dekat jendela sembari menatap langit berbintang, mendengar suara tawa ibunya dan kakaknya di meja makan. Di tangan Airi tergenggam ponsel lipat yang sedang memanggil.
Airi : “Assalamu alaikum?” (suara di kecilkan)
Penelepon : “Walaikum salam.Airi! Kapan novelmu akan kau kirim? Penjualan novelmu ‘Angin kesedihan’ terjual habis. Kami harap novelmu yang lain dapat segera kami terbitkan.”
Airi : “Terima kasih, Pak! Nanti saya antar kesana sendiri. Judulnya Kebisuan Malam.”
Penelepon : “Baiklah, sampai jumpa Kami tak sabar menuggu lanjutannya. SelamaT malam!”
Airi : “Malam….” (menutup telepon dan kembali memandang langi malam, sebuah lagu bersenandung kecil dari radio mungil di sisi kiri Airi)
Syukuri apa yang ada…
Hidup adalah anugrah…
Tetap jalani hidup ini…
Melakukan yang terbaik…..
***