Selasa, 06 April 2010

PENANTIAN KECIL

Airi menendang batu kecil seukuran kepalan bayi di depannya, dia mendengus sambil melipat tangan dengan mata tertuju pada sebuah rumah sederhana yang apik dan bersih. Ia mengenakan seragam putih abu-abu dengan rok diatas lutut. Di kedua pergelangan tangannya di penuhi gelang plastik hitam, dandannya agak emo gothic.

Airi : “Apa, sih salahku? Kenapa Ibu selalu saja menyalahkan aku dan membela kakak? Sungguh tidak adil!” (mengumpat sendiri di depan pagar)

Setelah menjulurkan lidah kearah rumah sederhana itu, Airi bergegas meninggalkan tempat itu.

Di dalam rumah.

Ayah : “Ibu juga, sih… terlalu tegas padanya…..” (berjalan menuju kursi meja makan, duduk dan meminun kopi hitam pekat)

Ibu : “Ayah… kalau Airi tidak ditegasi, mau jadi apa dia? Dandan tidak beres begitu ke sekolah. Mau jadi anak apa itu nanti? Preman? Anak imut gitu jadi preman… cewek lagi… apa kata orang, Yah…” (menyodorkan pisang goreng di depan ayah)

Ayah : (geleng-geleng kepala) “Wong, Ibu juga… nyumpahin anak sendiri seperti itu… hati-hati kalau ngomong, Bu… kata-kata seorang ibu itu doa pada anaknya….” (melirik sang ibu)

Ibu : “Astagfirullah!” (terkejut, meletakkan kedua telapak tangan di dada)

Ayah : (kembali menggelengkan kepala)

Disaat ruang makan mulai sunyi, derap langkah keluar dari kamar di sebelah ruang tamu bergerak menuju meja makan.

Wina : “Bu…” (membuka amplop putih)

Ibu : “Ya?” (menengadah melihat Wina yang berjalan kearahnya)

Wina : “Ini setengah gaji magang Wina buat Ibu… lumayan banyak… jadi, sisanya buat ibu saja.” (memandang khidmat sang ibu) “Buat dapur, Bu….” (tersenyum)

Ibu : “Aduh… Win… makasih banyak… tapi, ibu rasa ini uang yang pantas untuk kau simpan saja…. Uang pensiunan ayah juga masih ada, kok… tabung saja…” (memandang senduh Wina)

Ayah : “Iya, Win… gaji pensiunan ayah masih cukup untuk kita. Yah… walaupun tidak sekaya tetangga-tetangga kita, toch ayah masih mampu beli laptop untuk kuliahmu… tunai lagi. Ayah tidak bermaksud sombong, loh!” (tersenyum jenaka)

Wina terkekeh, duduk di kursi, meletakkan amplop putih berisi gaji magangnya selama 3 bulan di Bank Swasta. Tangan lentiknya meraih pisang goreng .

Wina : “Iya, Yah… tapi… apa salahnya jika Wina sesekali balas budi? Toh juga tak seberapa….”

Ibu : “Mbok, ya , kamu ini, ya!” (berdiri dan mengucek-ngucek rambut Wina, berjalan masuk ke dapur)

Wina : “Ibu…” (tertawa) “Memang Wina anak kecil?”

Ayah : “Iya, masih kecil! Badannya aja yang gede!” (meledek)

Wina pura-pura cemberut.

Ibu : “Ini nasi goreng kesukaanmun. Pulang kuliah nanti bantu ibu antar jahitan Bu Miranti, ya? Sekalian ibu titip salam.” (meletakkan sepiring nasi goreng di depan Wina)

Wina : “Nasi goreng Ibu memang yang paling lezat sedunia!”

Ayah : “Sudah. Cepat makan! Nanti kamu telat, loh!”

Wina mengangguk, lalu mulai memakan sendok pertamanya.

Wina : “Airi sudah berangkat duluan?”

Ibu : “Iya. Pake embel-embel ngambek lagi!” (duduk di kursi)

Wina : “Kenapa lagi, Bu?” (penasaran)

Ayah : “Biasa…. Taulah adikmu itu kalau di beritahu… bilangnya pasti pilih kasih…”

Ibu : “Anak itu memang bandel.” (geleng-geleng kepala)

Ayah : “Ibumu tadi ceramahin adikmu gara-gara pakiannya yang terlalu sexy…. Seragam sekolah kok sexy. Kata ibumu itu seperti cewek nakal. Trus, pulang sekolah masa pukul lima sore? Memang pelajaran sekolahnya berapa, sich? Kalo les, ya masa sampai harus tiap hari?” (meniru sebagian kata-kata istrinya)

Wina hanya mengkerutkan kening mendengarnya, lalu melempar pandang kearah sang ibu. Ibu hanya memalingkan wajah.

Ibu : “Toh ibu juga mau dia baik-baik sepertimu, Win. Ibu nggak salah, kan? Ibu itu mau adikmu seperti kamu…” (mengelus pipi Wina) “Pintar, cantik, berbakat, murah hati… apalagi coba? Pake jilbab, lagi!” (tersenyum bangga)

Wina : “Ibu… tapi itu tidak bisa dipaksakan, kan? Airi juga punya jalan hidupnya sendiri.”

Ibu : “Makanya dia butuh pembimbing!” (ngotot)

Ayah : “Tapi, jangan terlalu tegas begitu…. Masa anak sendiri dikatain bego mulu? Anak kurang ajarlah… apalah… airi juga punya perasaan, Bu…” (tersenyum miris pada istrinya)

Ibu : “Anak seperti memang punya hati? Ibu itu nggak pernah liat di berbuat baik sedikitpun. Mainnya saja sama anak tidak beres.”

Wina : “Ibu… dia anak ibu juga, kan?” (mengeluh)

Ibu : “ Iya. Tapi anak ibu yang paling baik itu Wina, kan?” (tersenyum)

Ayah : (berdiri dari kursi, tak tahan terhadap sikap sang istri)

***

Airi duduk termenung di bangku taman di saat jam istirahat sekolah, tak habis pikir ibunya selalu saja berpikiran negatif terhadap dirinya. Berdandan emo-gothic apa salahnya? Masa dia dinilai dari luarnya saja?

Airi : “Kasih sayang seorang ibu itu seperti apa, sih?” (bicara sendiri dengan nada berbisik).

Airi dan Wina adalah saudari kandung dengan sifat berbeda. Jika dimata ibunya Wina anak baik, maka Airi sebaliknya. Sang ibu lebih menyanyangi sang kakak dibanding sang adik karena sewaktu umur lima tahun, Wina hampir meninggal dunia akibat tenggelam di kolam ikan milik kakek mereka, hal itu terjadi karena kelalain sang ibu.

Semenjak saat itu, Wina menjadi anak kesayangan beliau. Airi mendengar cerita ini dari sang ayah. Sedangkan sang ayah selalu berlaku adil, itu membuat Airi lega. Airi paham perasaan sang ibu, tapi membedakannya seperti kutub positif dan negatif atau seperti pahlawan dan pejahat, apa itu adil? Hanya karena selera pakaian mereka berbeda dan aktivitas Airi yang sangat padat melebihi jadwal anak sma lainnya, lalu dicap buruk?

Airi selalu berusaha memberitahu kegiatan sekolah, tapi selalu ditanggapi dingin oleh sang ibu, hanya perkataan Ya? Dan oh! Saja yang terlontar dari mulut beliau. Itu membuat Airi malas untuk bercerita lagi.

Rina : (melihat Airi yang duduk termenung, berjalan menghampirinya) “Ai! Bantu aku, ya di ruang OSIS! Kamu, kan paling pintar dikelas! Apalagi kamu ketua OSIS tahun lalu! Anak kelas XI kesulitan mengurus arsip festival bulan depan. Mau, ya?”

Airi : “Baiklah. Tapi, aku tidak bisa lama-lama, loh! Aku ada urusan jam 2.30!”

Rina : “Iya. Cuma sejam kok sepulang sekolah nanti!”

***

Di rumah.

Airi : “Assalamu alaikum!” (mengetuk pintu)

Ibu : “Airi!” (membuka pintu sambil marah-marah) “”Kamu ini! Ini sudah pukul berapa?” (menunjuk jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam lewat) “Kamu ini bandel, ya!”

Airi : (menghela napas panjang, berjalan cuek melewati sang ibu)

Ibu : “Eh???? Anak ini! Dibilangin malah ngelunjak!” (menarik tangan Airi secara paksa)

Airi : “Ibu!” (tak sengaja berteriak)

Ibu : “Eh??? Mulai melawan lagi?” (teriak marah, melotot)

Ayah : “Ibu! Sudah!” (berjalan tergesa-gesa dan cepat-cepat menarik Airi dari jangkauan istrinya)

Ibu : “Lihat anak gadismu ini! Begini yang dibilang anak gadis? Keluar pagi, pulang malam! Apa kata orang, pak? Malu! Malu kita ini!” (menunjuk-nunjuk Airi)

Airi hanya diam tanpa kata-kata, airmatanya hampir saja keluar, jika saja ia bukan orang yang pandai menyembunyikan perasaannya, mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya sambil mengutarakan betapa tidak adilnya sang ibu. Bahwa sedari kecil Airi tak bisa merasakan kasih sayang ibu seperti anak perempuan pada umumnya, tapi…. Airi bukan anak seperti itu… dia lebih memilih memendam masalahnya sendiri, lagipula jika ingin curhat, siapa yang mau mendengarkan? Ibu? Yang benar saja!

Airi : “Tadi Airi les matematika, bu.” (suara datar)

Ibu : “Bohong! Mana ada les sampai jam segini?”

Airi : “Benar, Bu! Waktu pulang tadi macet. Ibu bisa telepon Pak Kendo.” (berusaha meyakinkan)

Ibu : “Ah! Ibu tak mau dengara alasan konyol seperti itu! kamu memang suka pulang malam, kan? Jalan dengan om-om mana kamu, hah?” (nada suara meninggi)

Airi : (syok. Hampir terjatuh)

Ayah : “Cukup! Ibu apa-apaan, sih bilangin anak seperti itu?” (marah)

Ibu : “Pikir, pak! Pikir! Lihat saja kelakuan anakmu itu! Dasar bego!” (melempar gelas plastik yang ada di atas meja lalu masuk dapur sambil tetap marah-marah)

Airi terdiam, masih syok, rasanya ingin menangis tapi ditahannya karena ada ayahnya saat ini.

Ayah : “Sudah. Lupakan saja omongan ibumu yang yak beres itu. kamu sudah makan?”

Airi : (mengangguk) “iya. Tadi sempat makan bakso dengan ketupat dua sebelu les dimulai. Ayah percaya, kan pada Ai?” (tersenyum hampa)

Ayah : “Iya. Percaya.” (mengelus rambut pendek Airi)

Airi : “Kalau ayah tidak percaya, aya bisa lihat tanda tangan Pak Kendo di tiap akhir pertemuan, kok” (membuka tas dengan tangan agak gemetar, air mata Airi tanpa disadarinya menetes)

Ayah : “Ayah percaya seratus persen pada Airi.” (menghalangi Airi membuka tas) “Ayah percaya kalau Airi tak seburuk yang ibu katakana. Airi anak baik, kok! Ayah percaya itu.” (tersenyum bijak)

Airi : (terpana lalu tersenyum manis) “Terima kasih, Yah…..”

Ayah : “Istirahat sana….”

Airi : “Iya…” (berjalan masuk kamar)

Setengah jam kemudian.

Wina : “Assalamu alaikum?” (mengetuk pintu)

Airi berdiri dari kursi belajarnya, hendak membukakan pintu, namun langkahnya berhenti ketika ia mengintip dari balik pintu kamarnya, sang ibu dengan wajah sumringah menyambut kedatangan kakak semata wayangnya itu. tanpa emosi, tanpa amarah, tanpa pandangan yang hendak menerkam atau perkataan hujatan seperti dirinya setengah jam lalu.

Ibu : Walaikum salam…. Capek, ya? Ibu sudah masak cumi kesukaanmu, loh!” (menarik tangan Wina dengan antusias)

Wina : “Wuah! Pasti enak!”

Ibu : “Tentu saja! Ibu yang masak! Bagaimana kuliahmu?”

Wina : “Baik, Bu. Tadi lumayan lucu dikampus.” (berjalan masuk menuju dapur)

Airi yang melihat hal itu berubah murung, namun ia tak mau protes. Buat apa protes kalau ujung-ujungnya akan dimarahi lagi? Lebih baik diam saja.

Wina : “Airi! Ayo makan!” (berteriak dari arah meja makan)

Airi : “Airi sudah makan, kok di sekolah tadi!” (berusaha menahan tangis)

Ibu : “Adikmu itu sudah kenyang. Kita makan saja. Ayahmu juga sudah makan tadi depan TV. Ayo, Makan! Ibu sudah lapar menunggumu!” (tersenyum ceriah sembari mengambilkan nasi untuk Wina)

Wina : “Aduh… Ibu.. Wina bisa sendiri, kok…” (terkekeh)

Ibu : (ikut terkekeh juga)

Malam itu Airi hanya duduk di dekat jendela sembari menatap langit berbintang, mendengar suara tawa ibunya dan kakaknya di meja makan. Di tangan Airi tergenggam ponsel lipat yang sedang memanggil.

Airi : “Assalamu alaikum?” (suara di kecilkan)

Penelepon : “Walaikum salam.Airi! Kapan novelmu akan kau kirim? Penjualan novelmu ‘Angin kesedihan’ terjual habis. Kami harap novelmu yang lain dapat segera kami terbitkan.”

Airi : “Terima kasih, Pak! Nanti saya antar kesana sendiri. Judulnya Kebisuan Malam.”

Penelepon : “Baiklah, sampai jumpa Kami tak sabar menuggu lanjutannya. SelamaT malam!”

Airi : “Malam….” (menutup telepon dan kembali memandang langi malam, sebuah lagu bersenandung kecil dari radio mungil di sisi kiri Airi)

Syukuri apa yang ada…

Hidup adalah anugrah…

Tetap jalani hidup ini…

Melakukan yang terbaik…..

***

Sabtu, 03 April 2010

Naskah drama smada watampone

SETETES PILIHAN

Prang!

Sebuah piring terjatuh dari tangan Arini.

Matanya agak mengantuk malam itu, sadar bahwa ia memecahkan piring, matanya tiba-tiba saja melek.

Arini : “Ah! Ibu pasti marah, deh! Aduh! Gawat! Gawat!”

( membersihkan pecahan piring yang berhamburan kemana-mana di lantai porselen abu-abu)

Ibu : “Arini? Kau tidak apa-apa?”

(Sang ibu yang cemas berjalan menuju dapur, kaget melihat anaknya panik memungut pecahan beling)

Arini tersentak kaget.

Arini: “A… anu…. Itu….. pi…. Piringnya…. Terselip…. Airi tadi mengantuk, Bu…”

(Airi berdiri, kepalanya tertunduk lemas, tak berani memandang wajah ibunya. Di kedua tangannya di penuhi pecahan piring yang cukup besar)

Ekpresi ibu awalnya hendak murka, namun mengingat satu hal, wajah beliau tiba-tiba saja melunak.

Ibu : “Sudah… tidak apa-apa…. Airi pasti capek… ini sudah pukul Sembilan malam, Airi pulang dari les sejam lalu, kan? Tidak apa-apa… ibu tidak marah…. Airi istirahat saja. Biar ibu yang bereskan semua ini. Ya?”

(tersenyum)

Airi menggeleng cepat-cepat.

Airi : “Tanggung, Bu! Airi bereskan saja semua! Lagian, Airi sudah tidak mengantuk lagi, kok!”

(senyum manis)

Kening ibu mengkerut.

Ibu : “Betul?”

Airi hanya mengangguk.

Ibu : “Baiklah…. Sudah itu istirahat, ya! Ibu selesaikan pesanan Bu wina.”

(mengacak-ngacak rambut Airi)

Sebelum Ibu Airi kembali ke ruang kerjan tempatnya menjahit, Airi berkata.

Airi : “Ibu!”

Ibu : “Ya?” (berbalik kearah Airi sembari tersenyum)

Airi : “Terima kasih untuk tidak memarahi Airi, Bu…”

(Airi lagi-lagi tersenyum)

Ibu mengangguk pelan. Dan beliaupun kembali ke kerjaannya yang terhenti ditengah jalan tadi.

Airi menghela napas sejenak. Memandang sedih punggung Ibunya yang semakin menjauh.

Airi : “Ibu…”

(murung dan meneteskan airmata)

Airi mengetahui satu hal…

Ibunya menderita penyakit langka…

Entah apa itu… yang jelas kata dokter, penyakit itu baru ada di dunia medis. Dan… yang paling membuat Airi hampir depresi, tak ada cara apapun untuk menyembuhkan penyakit ibunya.

Walaupun terlihat sehat-sehat saja, namun Jantung dan paru-paru ibunya mulai memburuk. Makanya sang ibu kadang terbatuk-batuk. Warna matanya yang dulu hitam kelam kini berubah warna menjadi biru pucat. Memang aneh. Sangat aneh. Bahkan, kadang di malam hari, ketika jutaan pasang mata terlelap, Ibu Arini terbangun karena rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya. Rasa sakit seperti tertusuk ribuan jarum secara bersamaan dan ketika hal itu berhenti, beliau tak mampu merasakan kaki dan tangannya selama beberapa menit.

Arini yang tak mampu berbuat apa-apa hanya bisa menangis tersedu-sedu di kamarnya tanpa sepengetahuan orang lain. Meski keluarganya mengalami hal yang pahit, Arini berusaha untuk tetap terlihat ceria dan berpura-pura tak terjadi apa-apa.

***

Pagi itu Arini berpakaian lengkap putih abu-abu, dia duduk di meja makan yang cukup besar bersama adiknya, Bayu. Raut wajah Arini terlihat muram.

Ibu : “ Arini kapan UAN-nya?”

(ibu meletakkan nasi goreng di depan Arini)

Arini : “Tiga minggu lagi, Bu.”

(memperhatikan Bayu yang membaca komik Black Butler dengan serius)

Ibu : “Wuah… Arini yang semangat, ya!”

(duduk di kursi dekat Bayu, tersenyum lembut sambil menuang air putih ke gelas Airi)

Arini : “Makasih, ya, Bu…”

(suara serak)

Ibu : (terkejut)

Bayu : (menatap kakak, pandangan matanya hampa, berjalan menuju dapur)

Ibu : “Lho? Kenapa, Arini?”

Arini : “Ibu…” (meneteskan airmata)

Ibu : “Lho? Kenapa nangis?”

(menghapus airmata di pipi Arini)

Arini : “Ibu… tidak apa-apa? Semalam… Arini dengar…”

(terdiam tiba-tiba, Bayu berdiri dari kursi, tampak tak mau mendengar percakapan itu, langkah kakinya menuju dapur.)

Ibu melihat Bayu sekilas, lalu tersenyum pada Arini.

Ibu : “Ibu semalam bernyanyi… tidak apa-apa, kok…”

(mengelus pipi Arini)

Arini : “kenapa, sih, ibu selalu memperlakukanku seperti anak kecil? Arini sudah hampir lulus SMA, Bu!”(cemberut) “Ibu semalam kesakitan lagi, kan? Arini temani Ibu ke Rumah sakit, ya?” (ngotot)

Ibu : “Aduh…. Arini…” (terkekeh)

Arini : “Kok ketawa? Ibu ini kenapa, sih?” (kesal)

Ibu : (menghela napas) “Arini tidak usah mencemaskan, Ibu….. Lihat! Ibu baik-baik saja, kan?”

Arini : (cemberut) “ugh….. Arini pamit, Bu!” (mencium tangan ibu) “Assalamu Alaikum!”

Ibu : “Walaikum salam…”

Bayu : “Ah! Kakak! Tunggu!” (berlari keluar dapur) “Bayu, berangkat, Bu! Assalamu alaikum! (mencium kening ibunya)

Ibu : “Hati-hati!” (melambaikan tangan dari meja makan)

Di jalan menuju sekolah, Bayu mencuri-curi pandang kearah kakaknya.

Arini : “Kenapa memandangku seperti itu?” (merasa kesal)

Bayu : (terkejut, kemudian tertunduk) “Apa keadaan ibu akan baik-baik saja?”

Arini : (murung) “Kau, kan jenius…. Harusnya lebih tahu…. Sudahlah…Kita pikirkan nanti saja. Ya?” (tersenyum kearah Bayu, namun terlihat sedih)

Bayu : “Kakak…” (berenti berjalan, memandang kakaknya yang berjalan semakin jauh di depan)

Airi : “Lho? Kok, berhenti? Ayo!” (berbalik kearah Bayu sembari melambaikan tangan)

Bayu : “Iya…” (mengangguk dan berlari-lari kecil kearah Arini)

***

Di kantin saat istirahat.

Mira : “Jes… kenapa, ya? Kok Si Arini kelihatan murung semenjak bulan lalu?” (bertopang dagu di meja, menatap bakso di depannya)

Lola : “Iya… Padahal…. Sebelumnya, ketika orang tuanya bercerai, dia sama sekali tak terlihat sedih… apa dia baru merasakannya sekarang? Kehilangan sosok ayah?”

Jesi : “Hah… Ayahnya suka menyiksa, sich… walaupun mereka kaya, siapa yang bahagia kalau begitu? Kudengar, Arini dan ibunya menerima kekayaan 50% dari harta yang hampir satu trilyun. Tapi, kenapa hidup Arini sekarang sulit, ya? Sampai harus kerja sambilan di toko kue dekat rumah Pak Bejo? Aneh…”

Mira : “Iya…. Sampai-sampai dia jarang main dengan kita…”

Semua diam.

Teng teng teng!!

Bunyi bel masuk berbunyi. Pertanda pelajaran berikutnya akan di mulai.

Jei : “Ayo, masuk kelas! (berdiri dari kursi, diikuti Mira dan Lola.)

***

Di rumah.

Kring kring kring!

Telepn rumah berbunyi. Ibu cepat-cepat mengangkatnya.

Ibu : “Assalamu alaikum?”

Perawat : “Walaikum salam. Dengan Ibu Miranda?”

Ibu : “Iya. Betul.”

Perawat : “Ini dengan perawat Dokter Stephen. Beliau meminta Ibu datang ke Rumah sakit sekarang juga. Ada hal penting yang ingin di bicarakan dengan Ibu.”

Ibu : “Oh… begitu…” (tersenyum hampa)

Perawat : “Baiklah kalau begitu, Bu. Terima kasih. Selamat Siang. Assalamu alaikum.”

Ibu : “Walaikum salam” (menutup telepon)

***

Di rumah sakit.

Dokter Stephen : “Bu Miranda… saya harap Anda tidak terkejut dengan hasil pemeriksaan terbaru kami…” (menyerahkan sebuah amplop besar warna coklat)

Ibu : “Apa hasilnya semakin buruk, Dok?” (menerima amplop dengan raut wajah pucat)

Dokter Stephen : “Begini, Bu…Saya putuskan untuk jujur pada Ibu… kasus ibu… tidak ada yang sama di dunia… seperti yang dulu saya katakan… ini semacam virus yang berkembang sendiri di dalam tubuh inangnya, namun anehnya virus ini hanya menyukai inang pertama yang di injeksinya…. Dengan kata lain, virus ini jenis yang abnormal dari virus-virus yang lainnya. Kami juga berusaha untuk mencari sumber asalnya dengan sampel darah Ibu. Sayangnya, hasilnya nihil, setiap di teliti, virusnya mati dalam hitungan detik. Seperti tak mampu berpisah dari inangnya. Mungkin darah Ibu adalah darah special makanan mereka. Terbukti sumsum tulang belakang Ibu, tidak mengalami kerusakan. Organ-organ dalam yang membutuhkan darahlah yang menjadi targetnya. Ini diluar kemampuan kami. Ibu beruntung virus ini tak menyebar ke anggota kelurga lainnya. Maaf saya berkata seperti ini….” (terdiam)

Ibu : (tersenyum pahit) “Begitu… pasti karena kejadian setahun lalu…”

Dokter Stephen : “Kejadian… setahun lalu?” (mengeryitkan kening)

Ibu : (mengangguk lemah, tak memandang wajah sang dokter)

“Dulu… sebelum saya menjadi tukang jahit… saya memiliki pekerjaan sebagai pemimpin suatu organisasi pengembang dan peneliti virus di kota Bandung.”

Dokter Stephen : “Pengembang…. Dan… peneliti… virus…?” (terkesima)

Ibu : (mengangguk)

“Awalnya… kami berhasil menemukan vaksin HIV…. Namun… lemah terhadap oksidasi udara luar… sulit sekali saat itu… kami memutar otak untuk menangkal terjadinya oksidasi vaksin itu, namun gagal. Sebulan berjalan, kami berhasil menangkalnya, tapi ada saja yang terjadi. Vaksin itu melahap tubuh si penderita HIV sampai hanya tersisa tulang belulang. Kejam memang…. Namun… kami tak menyangka hal itu… (menatap sang dokter dengan mata nanar) “Kami hampir putus asa… malam itu… aku lembur untuk meneliti lebih jauh…. Aku dapat… aku dapat serum yang paling ampuh dari hanya sekedar vaksin…” (terkekeh seperti orang gila)

Dokter Stephen : “Lalu?”

Ibu : “Lalu…. Aku menggunakan darahku untuk dijadikan sampel… tak kusangka…. Aku yang bertipe darah Bombay…. Bisa menghasilkan serum yang sangat manjur. Virus HIV yang baru terkena setetes saja, langsung mengering. Hilang tak berbekas. Menakjubkan, bukan? (menatap sang dokter dengan mata memerah)

Dokter Stepehen : “Ya…. Menakjubkan sekali… lalu apa yang terjadi? Kenapa serum itu tak dipublikasikan?”

Ibu : “Seminggu setelah kejadian itu… aku tak memberitahu siapapun dengan apa yang aku temukan. Aku ingin lebih jauh mengetahui dampaknya. Tiap malam aku lembur hanya untuk mengambil darahku sendiri dan kujadikan serum percobaan…. Dipercobaan ke-23… aku melihat dampak lain ketika menyuntikkannya pada kelinci percobaan kami…. Manusia, tentu saja… (tersenyum kecut) “Tubuhnya bergetar hebat, padahal awalnya hanya sedikit pusing. Dia mati… tentu saja… akhirnya… aku tak ingin menggunakan kelinci percobaan lagi… ilegal, bukan?” (tertunduk)

Dokter Stephen : “Ya…. Kasian sekali orang itu…. aku tak menyangka… lanjut….”

Ibu : “Aku yang notabene seorang ilmuwan saat itu, pasti memerlukan kelinci percobaan. Karena tak ingin orang lain jadi korban, aku menyuntikkan virus HIV ke tubuhku sendiri. Aku terinfeksi…”

Dokter Stephen : “Tapi, anda tak mengidap HIV? Bagaimana mungkin?” (terheran-heran)

Ibu : “Aku berhasil menciptakan serum tanpa efek samping. Aku menyimpan darahku dengan ukuran liter yang cukup tak masuk akal di pendingin. Beruntung aku adalah kepala peneliti, jadi, memiliki hak yang besar di sana. Tubuhku pun sampai kurus sekali… aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari sebelum menyuntikkan virus laknat itu.” (sedih)

Minggu, 14 Maret 2010

Jadilah Pendampingku, bodoh! Part 01

JADILAH PENDAMPINGKU, BODOH!

Part 01

Tito! Sudah kubilang, kan! Pungut sampahnya yang bener, dong!” Riku menceramahi teman sekelasnya yang entah keberapa kali hari itu.

Malas, ah! Dipungut juga bakal ada lagi! Capek, deh!” ujarnya cuek, matanya bergerak membaca huruf-huruf kurus di depannya,judul bacaannya “Alien menampakkan diri di Bandung”, sedang mulutnya penuh dengan kripik kentang.

Di jam ke-2 tadi kelas lagi ramai banget, maklum guru yang mengajar pada jam ke 3 lagi izin ke luar kota, alhasil kelas menjadi kotor dan berantakan banget. Para sebagian penghuninya sudah melarikan diri kekantin. Lari dari tanggung jawab, tuh! Nggak baik!

Ugh! Tito! Kau tahu, kan, ini sudah pelajaran ke-5! Sejarah! Sejarah, Tito! Pak Ustman nggak bakalan masuk kalau kelas nggak bersih!” bentak Riku melotot, berjalan menuju kearah Tito dan merampas buku bacaan milik Tito dengan kasarnya.

Sret!

Ngapain, sih! Ganggu banget, tahu!” kening Tito berkerut.

Wajahmu yang ganggu banget!” balas Riku.

berisik! Memang kenapa kalau Pak Ustman nggak masuk? Kamu ini, bukan asli Indonesia juga! Aneh banget peduli ama sejarah bangsa orang lain!” Tito berdiri di depan Riku, sehingga Riku hanya setinggi bahu Tito.

Tito! Kau itu rasis banget, bego! Ngggak berperasaan banget! Walaupun aku ini asli keturunan Jepang murni, tapi aku lahir dan besar di sini! Nggak sepertimu, ngakunya asli Indonesia, tapi nggak tau sejarah bangsa sendiri! Di tanya soal Bung karno, malah balik nanya siapa Bung Karno itu! suka ikut-ikutan gaya luar negeri yang nggak jelas seperti ini lagi!” Riku memandang Tito dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Gaya Tito ke sekolah memang agak mencolok, beda sekali dengan para murid cowok lainnya. Rambutnya spikey warna merah manyala, gaya harajuku banget! Pakaiannya juga memang terlihat nggak rapi, namun sanggup membuat cewek-cewek keteteran gara-gara penampilannya yang memikat. Bagi, Riku sama sekali biasa aja, toh dia punya sepupu anak band di jepang sana bergaya visual kei abis! Dan lagi, teman-teman sepupunya juga sering datang ke Indonesia sekedar main. Nggak ada tuh, rasa suka apalagi yang namanya nge-fans, padahal kalau lihat berita, personil band yang di usung sepupunya itu hampir mendunia. Gaya Tito ini sempat membuat gaduh sekolah saking menentang kepala sekolah yang melarangnya. Apa di kata? Sang kepala sekolah pasrah aja, kalau mengeluarkan Tito, maka sekolah itu akan kehilangan murid paling jenius di negeri ini. Tito juara 1 lomba sains dan matematika internasioal, loh!



‘Keterlaluan banget mencoloknya! Manusia bukan, sih?’

Kalimat itu sering bergema di pikiran Riku tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Tito yang begitu berlebihan.

Ini berbanding terbalik dengan penampilan Riku yang biasa saja, nggak ikut-ikutan bergaya ala Jepang-jepangan. Dia juga tak sepandai Tito, kecuali pada mata pelajaran sejarah. Tito angkat tangan, deh! Penampilan riku amat sederhana, rambut panjang hitam sebahu nan lurus, kulitnya putih seperti pualam, matanya juga agak besar dan lentik, yah… cewek-cewek Jepang pada umumnya-lah! Nggak cantik banget, juga nggak jelek banget! Dia agak mirip dengan penyanyi cewek Jepang bernama Yui. Hanya saja, Riku bermata minus.

Benar-benar sifat dan perilaku yang berbeda!

“Biarin! Bosan berdebat dengan nenek-nenek ahli sejarah!” kakinya melangkah menuju bangku Wina, gadis cantik di kelasnya.

Riku tertegun melihat hal itu. mukanya tiba-tiba mengkerut sebal.

“Tito jelek!” umpatnya, dengan amarah meledak-ledak ia memunguti sampah-sampah yang berserakan sendirian. Dasar Tito pemalas, setiap piket ada saja alasannya untuk tidak melaksanakan tugasnya.

Mereka berdua adalah pasangan adu mulut terhebat di kelas, andai saja hari itu pelajaran selanjutnya juga kosong, mungkin adu mulut itu nggak akan selesai-selesai.

Kring!

Kring!

Kring!

Kring!

Kring!

Bel pertanda pelajaran selanjutnya berbunyi, suasana hati Pak Ustman tampak riang gembira, kelas bersih, rapih, dan wangi banget! (Riku ngorbanin parfumnya buat nutupin bau-bau nggak jelas yang muncul tiba-tiba menyeruak di dalam kelas). Setelah pelajaran sejarah berakhir, mereka diizinkan pulan lebih awal karena adanya rapat guru dadakan.

Tuk!

Riku menendang kaleng kosong di hadapannya sebagai pelampiasan tadi pagi.

“Sudahlah, Riku! Jangan dipikirinlah!” Mai berusaha menenangkan hati Riku, hanya dia satu-satunya yang mampu membuat amarahnya reda.

Hah…

Riku menghela napas panjang.

“Dia itu kekanak-kanakan sekali, sampai kapan dia mau berusaha menjadi dewasa sedkit? Jenius, ya jenius, tapi sifatnya ituloh! Tahu, tidak? Waktu Pak Ustman masuk kelas, dia menjulurkan lidah padaku trus senyum-senyum kayak orang gila!ih! sebal rasanya!”

“Kau benar! Umur udah hampir 18, tapi sikapnya nggak berubah-berubah. Mana fansnya bejibun lagi!” Mai cekikikan.

“Tito bego!! Anak malas!! Laki-laki pecundang!!” teriak Riku dengan wajah memerah kesal, jika ia punya tanduk, maka tanduknya kini berbunyi bak sirine polisi.

“Riku…” ucap Mai pelan, tersenyum geli.

***

bersambung.....